RSS

KUMPULAN PUISI GUNUNG SUKATON

KUMPULAN PUISI GUNUNG SUKATON


Selamat Jalan Ibunda

oleh: G. Sukaton

Saat waktu berhenti diujung langkahmu
maka engkaupun pergi menemui Robb mu
meninggalkan sesuatu yang bernama rindu
hidup ini memang tinggal menunggu waktu

Saat kami khusuk bertaqorub di ramadlan yang suci
diam-diam engkau pulang ke kampung abadi
menuju dimensi kehidupan yang haqiki
dan ditepi hari yang fitri, berderai doa-doa kami

Saat perjalanan hidup tiba di batas masa
dan detak jantung mu bagai mendaki udara
barulah aku mengerti apa artinya duka
aku berharap bisa bersamamu lagi di surga

Ya Robb, Gofuururrohim
dengan setiap tetes air susunya yang memenuhi akalku
dengan setiap gumpal darahnya yang mengalir di jantungku
dengan setiap butir keringatnya yang menuntun asaku
dengan sebening air matanya yang melumuri jiwaku

Ampunilah Ibunda
tempatkanlah dia disisi Mu saja

Aamiin ya Robb, Dzat Pengabul doa

Bogor, 21 Juli 2018


SETU PATENGAN

Hari ini dua puluh lima tahun yang lalu
Tubuh renta ini pernah rebah di hamparan rumputmu
Menghitung bintang dengan telunjuk dibawah langit kelabu
Lalu selimut kabut memeluk tubuh malam sampai kaku
Aku mencari hangat api diujung reranting membeku
Ooo setu patengan yang syahdu bagai untaian lagu

Hari ini dua puluh lima tahun yang lalu
Aku kembali datang membawa anak-anak jaman padamu
Ingin membasuh wajah lelah nya dengan sejuk airmu
Tangan lemah ini pernah perkasa mendayung perahu
Tapi seperti dulu engkau hanya diam membisu
Meski dari balik rimbunan pinus kulihat engkau tersipu

Ooo setu patengan yang biru bagai beludru
Hari ini dua puluh lima tahun yang lalu
kaki ini jadi gemetar saat menapaki titian bambu
bergegas aku ingin menghambur dalam rengkuhanmu
mabuk dalam aroma kulit pinus seperti dulu
menghirup secangkir kopi dan sepotong rindu

Bandung 23 Mei 2017 


SURAT UNTUK PRESIDEN
(Refleksi akhir tahun)

Bapak Presiden yang baik hatinya
Lihatlah bunga-bunga bangsa layu ditaman nusantara
Tunas-tunas remaja berguguran sebelum mekar dimayapada
perahu akal mereka tenggelam ditelan banjir informasi disamudera sosial media, tak berdaya
karena pintu-pintu dunia dibiarkan terbuka lebar memasuki ruang pribadi sebelum masanya tiba.
Dengan satu ketukan jari saja, prilaku hidup bebas menjamah bilik hati anak kita jauh sampai relung paling rahasia
Maka anak-anak tumbuh dewasa dengan cepat tanpa diimbangi kematangan nalarnya
karena tangan-tangan pemilik modal menggurita dibalik meja penguasa, membunuh karakter penguasa dengan uang
mewarnai peraturan pengganti undang-undang untuk memuluskan kepentingan para pedagang, maka teknologi industri media dimainkan dalam satu pintu, menciptakan bahasa uang  menjadi senjata mematikan.
Kurikulum pendidikan dirancang menjadi mesin pencetak generasi lemah tanpa daya juang, mencoba tawar menawar dibawah tekanan kepentingan asing
metode belajar dipelajari sebagai materi pelatihan para pengajar saja, untuk mendongkak golongan, tidak bisa menyentuh benak anak-anak Indonesia
Anak-anak Indonesia terbata-bata mengeja teori yang diimport untuk kepentingan siapa
Melahirkan budaya dan ideologi yang memisahkan kehidupan bernegara dengan agama.

Bapak Presiden yang sederhana hidupnya
Dengarlah tangisan pertiwi yang merana karena pembangunan yang tergesa-gesa
mendera tubuhnya tanpa ada pembelaan dari putra-putra bangsa yang sedang mabuk kuasa
ribuan hekar hutan lenyap dalam sekejap meninggalkan kabut asap, karena lahan gambut dibakar dengan sadar.
Minyak  kelapa sawit, menjadi mimpi mengerikan di bumi kalimantan, sulawesi dan tentu saja di ribuan kota yang menjadi gelap terpapar asap persekongkolan, membuat pedih mata hati
maka dilahan perkebunan hutan tropis yang kaya dengan ragam satwa dan aneka hayati, orang tua kami terkapar mati
Berbagai pertanyaan yang tidak mendapatkan jawaban menjadi berita harian setiap media pemberitaan, membuat gaduh berkepanjangan tanpa ada jalan keluar yang pantas ditawarkan.
anak-anak pribumi harus puas menjadi kacung dan dihinakan ditanah ibunya, mereka mengais-ngais sisa sampah batu bara dengan tangan telanjang.
mata pena  adalah senjata mematikan yang dibawa para penjarah negeri yang berlindung dibalik perjanjian dan berbagai peraturan pengganti undang-undang yang dibuat oleh para saudagar di rumah rakyat.
Anak-anak negeri mengganti tanah dengan darah, menukar hutan dengan asap, menyulap sunyi jadi sampah suara.

Bapak Presiden yang lembut tutur katanya
Mengapa dada ini terasa sesak menyaksikan anak-anak kami tumbuh menjadi pribadi yang keras perangainya mudah sekali marah, untuk berpikir dan bekerja keras mereka malas,
karena sistem pendidikan menjadi mesin pencetak tenaga kerja, hanya menjanjikan selembar kertas.
Karena di sekolah sudah menjadi tempat yang mengerikan,transaksi jual beli semakin jelas
Tindak kekerasan dan perlakuan cabul pada anak sangat memilukan seperti gunung es, menggelindingkan bola salju, memporak porandakan generasi emas
Bagaimana masa depan bisa dimenangkan bila strategi direncanakan dengan serampangan oleh pejabat rakus yang berperilaku seperti tikus, tidak bisa membedakan antara seonggok rongsokan dengan timbunan emas.

Bapak Presiden  yang piawai merangkai teori
Revolusi mental tidak bisa dijalankan hanya dengan memampang  papan slogan
Perubahan hakiki tidak bisa dilakukan hanya dengan propaganda dalam rangkaian presentasi
Karena hakikat penciptaan manusia di dunia bukan sebagai mesin produksi yang bekerja tanpa hati
Manusia harus disadarkan jati dirinya sebagai makhluk yang diciptakan, membawa misi besar dari Robb nya, menjaga alam raya dan kehidupan agar lestari sesuai fitrahnya
Membangun peradaban manusia tidak cukup dengan mendatangkan para pemilik modal lalu mengumpulkannya dalam sebuah permufakatan rahasia
Tidak juga dengan berbagai kerjasama multilateral
apalagi dengan komporomi antar bangsa di panggung konferensi internasional.
Kejayaan sebuah bangsa dimasa depan harus direbut dengan kekuatan berpikir yang tunduk pada aturan Penciptanya
Maka ideologi yang berasal dari ayat-ayat Ilahi harus menjadi landasan setiap butir peraturan yang tumbuh diatas nya
Bila kesadaran sudah memenuhi setiap jiwa
Disanalah kebangkitan bermuara

Bogor, 28 Desember 2015


Dunia berada di ujung telunjuk anak ku

Oleh: G. Sukaton

Dunia berada di ujung telunjuk anak ku kini
Luasnya hanya beberapa inci
Dalam situs-situs maya anak ku bersembunyi
Membangun istana dengan tangan nya sendiri
Anak ku dimana kamu kini, berabad dia tak kembali
Jiwanya yang dahaga kian rekah tidak bisa lagi disusui
Untuk masuk ke bilik nya aku harus tahu kode sandi
Tiap menit nafasnya adalah ekplorsi
Update status membangun jaringan, tempat nya sembunyi

Dimanakah kau anak ku
Kita dipisahkan oleh peradaban
Padahal engkau hanya duduk di situ
Bahkan desah mu dapat aku rasakan
Saat kau retas rahasia terlarang dalam dua abjad bantuan
Akupun terjunkal ditelikung jejari mu
Coba mengejar dan berseru, jangan!
Tapi, ke balik jejaring kau cepat berlalu
Jejak mu tak ter rekam pengamatan

Dunia tak berdinding dibawah telunjuk anak ku
Banjir informasi menenggelamkan perahu akal mu
Yang teranyam dari pongah kebodohan ku
Pasar dunia menggenang di tas sekolah dan buku
Bahkan tugas dari guru kau beli di situ
Aku pun terjungkal ditelikung jejari mu
Coba menawar waktu untuk bertemu
Dalam putaran detik semakin cepat berlalu
Tapi jejari anak ku begitu cepat tak terburu

Dimanakah kau anak ku
Aku merindukan lagi rengek mu
Memecahkan pekerjaan rumah seperti dulu
Melayarkan perahu jaman di tawamu
Menghitung biji dacon dari tangan ibu
Masa kini memak milikmu
Tanganku kian rapuh tak sanggup lagi merebut waktu

Dunia maya mengambang di ujung jemari anak ku
Detik-detik menggelombang di ingatan ku
Bayangan masa lalu adalah jarak yang tak dapat ku tempuh
Aku berteriak sepenuh langit di sunyi bumi pencarian
Tapi engkau semakin jauh melayari gelombang pulsa
Dan aku ternganga menghitung kecepatan jari mu
Berlompatan diatas keyboard menertawakan aku
Maka aku pun beku dalam dekapan waktu


Bogor, 27 September 2012
Image




DARI GELAP MENUJU TERANG

Karya : G. Sukaton
Dengan mengeja Alif, Laam, Miim.
hamba rebahkan segenap kesombongan dikaki Paduka yang berkuasa atas jiwa.
Ini adalah kesepakatan yang tak bisa diingkari perjalanan ruhani menuju matahari
dari gelap yang menyekap menuju Maha Cahaya yang terang benderang.
Memperbaiki segala yang telah dirusak, mengembalikan segala yang telah diambil
oleh tangan tak berhati, hati tak bermata, mata tak berjiwa. Janganlah engkau
menukar kesesatan dengan petunjuk. Kuketuk dan kuketuk setiap pintu namun
kutangkap senyap gelap mendekap, sekali kudengar suara ‘siapa yang berkuasa

atas ada dan tiada’ gemanya memantul pada dinding tak bertemu jawab karena bukan tanya kau bawa hanya riap amarah dari getas jiwa. Perumpamaan tidak sanggup engkau terangkan pada petunjuk engkau mengutuk disempit jiwa engkau berkelana, engkau kapal layar tak bernakoda terombang ambing jadi sampah di cakrawala. Mengapa kamu ingkar pada perjanjian setelah teguh perjanjian padahal awalnya engkau tidak ada lalu Dia hidupkan dari air yang hina dalam tempat yang mulia engkau disiapkan menjadi sosok lemah tak bernama, tiba-tiba engkau menjadi angkuh dengan sejumput ilmu. Ingatlah saat Dia mengajarkan kepada Adam nama benda-benda satu persatu agar engkau menjadi tahu setelah tidak tahu. ‘Lalu para malaikat penjaga langit bersujud ‘sesungguhnya Engkau lebih tahu’.
Dengan mengeja Alif, Lam, Mim.
Sungguh kami sudah membuat kerusakan dan menumpahkan darah diatas bumi para lelaki mati ditangan kami, istiri-istri kehilangan suami, anak-anak kehilangan bapak jadi gambaran suram dimedan pertempuran, semesta jadi kelam. Putra-putra sejarah terus lahir dari rahim peradaban purba, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau. “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, Sungguh Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan dalam dada?” tapi engkau tetap saja berkutat dalam kesesatan sampai habis waktu yang dijanjikan. Benang cahaya ini begitu jelas menuntun kelam jiwa dari gelap menyekap menuju cahaya terang benderang. Tapi lentera akal yang tersia kulihat sekerjap saja, hanya sekerjap semakin menjauh dipalung kesengsaraan, pencarianmu tak pernah usai tersesat di bilik sempit jiwa. Kalau saja engkau sungguh-sungguh ruku bersama orang-orang yang ruku ada karunia dan rahmat atasmu dari Penerima taubat lagi Maha Bijaksana, tapi kamu jadikan itu permainan diwaktu luang padahal awalnya engkau tidak ada lalu Dia hidupkan dari air yang hina dalam tempat yang mulia engkau disiapkan menjadi sosok lemah tak bernama. Lihatlah langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Mari benahi lagi bangunan akal ini, sisihkan di tepi fikrah-fikrah asing yang menumpuk kumuh memenuhi ruang kesadaran berpikir, dan kedua tangan ini raihlah tanpa curiga.
Dengan mengeja Alif, Lam Mim
Kalau bukan karena Rahman dan Rahim tentu sudah lama langit diatasmu runtuh dan bumi dikaki ini rekah. Selamatkanlah jiwamu dan jiwa-jiwa dibawah tanganmu dengan dua berkas cahaya yang semburat dari kabar gembira dan peringatan yang dibawa Sang Utasan dari Yang Maha Memelihara. Ingatlah satu saat, apabila bumi digoncangkan dengan goncangan yang amat dahsyat, dan bumi mulai mengeluarkan beban-beban berat yang dikandungnya lalu bumi berceritera dengan ijin-Nya, ketika itu manusia bagaikan anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Dan manusia hanya sanggup berucap tanya ‘mengapa bumi jadi begini?’. Banyak muka yang semula pongah tengadah pada hari itu tunduk terhina,


JUM’AT BASAH


Jum’at basah
Udara basah,
Daun basah,
Tanah basah,
Jiwaku basah,
Waktu merambat resah,

Jalan berlubang dan genangan air mata
Arus lalu lintas terantuk batu kebodohan masyarakat kota
Para pemuja luber di jalan menjadi luka menganga
Rumah ibadah dipadati sampah yang diangkut penghuninya
Ahh... hatiku remuk meradang menahan seratus dera
Kota hujan ditelikung pembangunan tanpa rencana

Sejarah hutan hijau melambai dianganku merana
Pohon-pohon berjanggut dipagar birokrasi tak berdaya
rerantingya patah dibungkus plastik menjadi cenderamata
Catatan masa lalu bertumpuk menjadi rongsokan besi tua
Amarah, amarah yang tak terkendali jadi kompas menyesatkan jiwa
Aku terjebak dipusaran badai peradaban manusia

Dengan pongah meninggalkan Tuhan nya.

Kemang, 21 Februari 2014


SUARA DARI SERAMBI MEKAH
(dengn sepenuh doa untuk saudaraku di Aceh)

Kasih-Mu,
Ngejawantah dalam gulungan ombak rebah dan debaran jantung bumi menjadi rahasia duka
Direkahan tanah menelan tubuh-tubuh saudara
Kami terpana tak habis bertanya
Dengan bodoh dan pongah Coba menerka makna sebuah peristiwa

Kasih-Mu,
merambat dalam rangkaian rahasia alam, dalam lapisan bumi yang paling gelap, dalam dasar samudera jiwa, dalam gelegak air samudera, dalam patahan-patahan tanah kering hati hamba
Lalu semuanya basah oleh satu desakan Maha kuat ,gelombang tumpukan dosa, lelehan air duka
Didalam camp penampugan sementara

Kasih-Mu,
Mewarnai pantai diserambi rumah kami
Menjadi potongan-potongan asa yang semakin menjauh dari perkampungan tanah rencong
Meninggalkan anak-anak tanpa orang tua ditepi-tepi malam berhujan menggigilkan hati
Beterbangan serangkum doa dari seantero jiwa kami luka
Mencari rumah-rumah tak beralamat
  
Kaish-Mu
Duh, hanya kami hargai dengan silang selisih pendapat para ahli
Kulihat diantara tumpukan-tumpukan hati yang telah lama mati jauh sebelum datang badai
Menerbangkan helai-helai bulu tubuh kami, tersangkut diatap rumah abadi,
Terselip diselokan peradaban,Terombang ambing arus sungai lumpur parodi,
bahkan dalam kubangan dendam, derai airmata, keluh kesah, dan caci maki

Kasih-Mu,
Sejatinya semerbak jiwa yang bermuara pada sifat Rahim
Berulangkali jiwa ingin mati rasakan nikmat disambut malaikat berlapis cahaya
Bukan untuk ditangisi ditujuh malam putus asa
Gulungan raksasa air asin yang melanda memang bukan liukan tari seudati, saudara
Tapi sebuah dimensi yang sarat dengan makna

Kasih-Mu,
Berlari jauh mendahului murka paduka
Bukan seperti yang telah aku lihat diserambi rumahku tepi pantai sepi
Maka para pencari harus terus dikerahkan untuk menemukan jiwa-jiwa suci yang hilang
Dalam gulungan peradaban yang lebih liar dan mematikan daya nalar
Kita kepinggirkan jasad-jasad yang masih kita temui dalam setiap langkah hari

Kasih-Mu,
Bila harus kumaknai, aku memilih rahasia
Terlalu agung untuk menjadi bahan cerita
Karena kami lupa dan Kau kutinggalkan disemak-semak gelap hati kami
Secepatnya lebih pantas untuk dikasihani dan diselamakan
Dengan kiriman doa sejati dari seluruh jiwa yang selalu mencari  makna hakiki dibalik sebuah tragedi


Bogor, Januari, 24-2005

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Posting Komentar