RSS

KUMPULAN PUISI GUNUNG SUKATON

KUMPULAN PUISI GUNUNG SUKATON


Selamat Jalan Ibunda

oleh: G. Sukaton

Saat waktu berhenti diujung langkahmu
maka engkaupun pergi menemui Robb mu
meninggalkan sesuatu yang bernama rindu
hidup ini memang tinggal menunggu waktu

Saat kami khusuk bertaqorub di ramadlan yang suci
diam-diam engkau pulang ke kampung abadi
menuju dimensi kehidupan yang haqiki
dan ditepi hari yang fitri, berderai doa-doa kami

Saat perjalanan hidup tiba di batas masa
dan detak jantung mu bagai mendaki udara
barulah aku mengerti apa artinya duka
aku berharap bisa bersamamu lagi di surga

Ya Robb, Gofuururrohim
dengan setiap tetes air susunya yang memenuhi akalku
dengan setiap gumpal darahnya yang mengalir di jantungku
dengan setiap butir keringatnya yang menuntun asaku
dengan sebening air matanya yang melumuri jiwaku

Ampunilah Ibunda
tempatkanlah dia disisi Mu saja

Aamiin ya Robb, Dzat Pengabul doa

Bogor, 21 Juli 2018


SETU PATENGAN

Hari ini dua puluh lima tahun yang lalu
Tubuh renta ini pernah rebah di hamparan rumputmu
Menghitung bintang dengan telunjuk dibawah langit kelabu
Lalu selimut kabut memeluk tubuh malam sampai kaku
Aku mencari hangat api diujung reranting membeku
Ooo setu patengan yang syahdu bagai untaian lagu

Hari ini dua puluh lima tahun yang lalu
Aku kembali datang membawa anak-anak jaman padamu
Ingin membasuh wajah lelah nya dengan sejuk airmu
Tangan lemah ini pernah perkasa mendayung perahu
Tapi seperti dulu engkau hanya diam membisu
Meski dari balik rimbunan pinus kulihat engkau tersipu

Ooo setu patengan yang biru bagai beludru
Hari ini dua puluh lima tahun yang lalu
kaki ini jadi gemetar saat menapaki titian bambu
bergegas aku ingin menghambur dalam rengkuhanmu
mabuk dalam aroma kulit pinus seperti dulu
menghirup secangkir kopi dan sepotong rindu

Bandung 23 Mei 2017 


SURAT UNTUK PRESIDEN
(Refleksi akhir tahun)

Bapak Presiden yang baik hatinya
Lihatlah bunga-bunga bangsa layu ditaman nusantara
Tunas-tunas remaja berguguran sebelum mekar dimayapada
perahu akal mereka tenggelam ditelan banjir informasi disamudera sosial media, tak berdaya
karena pintu-pintu dunia dibiarkan terbuka lebar memasuki ruang pribadi sebelum masanya tiba.
Dengan satu ketukan jari saja, prilaku hidup bebas menjamah bilik hati anak kita jauh sampai relung paling rahasia
Maka anak-anak tumbuh dewasa dengan cepat tanpa diimbangi kematangan nalarnya
karena tangan-tangan pemilik modal menggurita dibalik meja penguasa, membunuh karakter penguasa dengan uang
mewarnai peraturan pengganti undang-undang untuk memuluskan kepentingan para pedagang, maka teknologi industri media dimainkan dalam satu pintu, menciptakan bahasa uang  menjadi senjata mematikan.
Kurikulum pendidikan dirancang menjadi mesin pencetak generasi lemah tanpa daya juang, mencoba tawar menawar dibawah tekanan kepentingan asing
metode belajar dipelajari sebagai materi pelatihan para pengajar saja, untuk mendongkak golongan, tidak bisa menyentuh benak anak-anak Indonesia
Anak-anak Indonesia terbata-bata mengeja teori yang diimport untuk kepentingan siapa
Melahirkan budaya dan ideologi yang memisahkan kehidupan bernegara dengan agama.

Bapak Presiden yang sederhana hidupnya
Dengarlah tangisan pertiwi yang merana karena pembangunan yang tergesa-gesa
mendera tubuhnya tanpa ada pembelaan dari putra-putra bangsa yang sedang mabuk kuasa
ribuan hekar hutan lenyap dalam sekejap meninggalkan kabut asap, karena lahan gambut dibakar dengan sadar.
Minyak  kelapa sawit, menjadi mimpi mengerikan di bumi kalimantan, sulawesi dan tentu saja di ribuan kota yang menjadi gelap terpapar asap persekongkolan, membuat pedih mata hati
maka dilahan perkebunan hutan tropis yang kaya dengan ragam satwa dan aneka hayati, orang tua kami terkapar mati
Berbagai pertanyaan yang tidak mendapatkan jawaban menjadi berita harian setiap media pemberitaan, membuat gaduh berkepanjangan tanpa ada jalan keluar yang pantas ditawarkan.
anak-anak pribumi harus puas menjadi kacung dan dihinakan ditanah ibunya, mereka mengais-ngais sisa sampah batu bara dengan tangan telanjang.
mata pena  adalah senjata mematikan yang dibawa para penjarah negeri yang berlindung dibalik perjanjian dan berbagai peraturan pengganti undang-undang yang dibuat oleh para saudagar di rumah rakyat.
Anak-anak negeri mengganti tanah dengan darah, menukar hutan dengan asap, menyulap sunyi jadi sampah suara.

Bapak Presiden yang lembut tutur katanya
Mengapa dada ini terasa sesak menyaksikan anak-anak kami tumbuh menjadi pribadi yang keras perangainya mudah sekali marah, untuk berpikir dan bekerja keras mereka malas,
karena sistem pendidikan menjadi mesin pencetak tenaga kerja, hanya menjanjikan selembar kertas.
Karena di sekolah sudah menjadi tempat yang mengerikan,transaksi jual beli semakin jelas
Tindak kekerasan dan perlakuan cabul pada anak sangat memilukan seperti gunung es, menggelindingkan bola salju, memporak porandakan generasi emas
Bagaimana masa depan bisa dimenangkan bila strategi direncanakan dengan serampangan oleh pejabat rakus yang berperilaku seperti tikus, tidak bisa membedakan antara seonggok rongsokan dengan timbunan emas.

Bapak Presiden  yang piawai merangkai teori
Revolusi mental tidak bisa dijalankan hanya dengan memampang  papan slogan
Perubahan hakiki tidak bisa dilakukan hanya dengan propaganda dalam rangkaian presentasi
Karena hakikat penciptaan manusia di dunia bukan sebagai mesin produksi yang bekerja tanpa hati
Manusia harus disadarkan jati dirinya sebagai makhluk yang diciptakan, membawa misi besar dari Robb nya, menjaga alam raya dan kehidupan agar lestari sesuai fitrahnya
Membangun peradaban manusia tidak cukup dengan mendatangkan para pemilik modal lalu mengumpulkannya dalam sebuah permufakatan rahasia
Tidak juga dengan berbagai kerjasama multilateral
apalagi dengan komporomi antar bangsa di panggung konferensi internasional.
Kejayaan sebuah bangsa dimasa depan harus direbut dengan kekuatan berpikir yang tunduk pada aturan Penciptanya
Maka ideologi yang berasal dari ayat-ayat Ilahi harus menjadi landasan setiap butir peraturan yang tumbuh diatas nya
Bila kesadaran sudah memenuhi setiap jiwa
Disanalah kebangkitan bermuara

Bogor, 28 Desember 2015


Dunia berada di ujung telunjuk anak ku

Oleh: G. Sukaton

Dunia berada di ujung telunjuk anak ku kini
Luasnya hanya beberapa inci
Dalam situs-situs maya anak ku bersembunyi
Membangun istana dengan tangan nya sendiri
Anak ku dimana kamu kini, berabad dia tak kembali
Jiwanya yang dahaga kian rekah tidak bisa lagi disusui
Untuk masuk ke bilik nya aku harus tahu kode sandi
Tiap menit nafasnya adalah ekplorsi
Update status membangun jaringan, tempat nya sembunyi

Dimanakah kau anak ku
Kita dipisahkan oleh peradaban
Padahal engkau hanya duduk di situ
Bahkan desah mu dapat aku rasakan
Saat kau retas rahasia terlarang dalam dua abjad bantuan
Akupun terjunkal ditelikung jejari mu
Coba mengejar dan berseru, jangan!
Tapi, ke balik jejaring kau cepat berlalu
Jejak mu tak ter rekam pengamatan

Dunia tak berdinding dibawah telunjuk anak ku
Banjir informasi menenggelamkan perahu akal mu
Yang teranyam dari pongah kebodohan ku
Pasar dunia menggenang di tas sekolah dan buku
Bahkan tugas dari guru kau beli di situ
Aku pun terjungkal ditelikung jejari mu
Coba menawar waktu untuk bertemu
Dalam putaran detik semakin cepat berlalu
Tapi jejari anak ku begitu cepat tak terburu

Dimanakah kau anak ku
Aku merindukan lagi rengek mu
Memecahkan pekerjaan rumah seperti dulu
Melayarkan perahu jaman di tawamu
Menghitung biji dacon dari tangan ibu
Masa kini memak milikmu
Tanganku kian rapuh tak sanggup lagi merebut waktu

Dunia maya mengambang di ujung jemari anak ku
Detik-detik menggelombang di ingatan ku
Bayangan masa lalu adalah jarak yang tak dapat ku tempuh
Aku berteriak sepenuh langit di sunyi bumi pencarian
Tapi engkau semakin jauh melayari gelombang pulsa
Dan aku ternganga menghitung kecepatan jari mu
Berlompatan diatas keyboard menertawakan aku
Maka aku pun beku dalam dekapan waktu


Bogor, 27 September 2012
Image




DARI GELAP MENUJU TERANG

Karya : G. Sukaton
Dengan mengeja Alif, Laam, Miim.
hamba rebahkan segenap kesombongan dikaki Paduka yang berkuasa atas jiwa.
Ini adalah kesepakatan yang tak bisa diingkari perjalanan ruhani menuju matahari
dari gelap yang menyekap menuju Maha Cahaya yang terang benderang.
Memperbaiki segala yang telah dirusak, mengembalikan segala yang telah diambil
oleh tangan tak berhati, hati tak bermata, mata tak berjiwa. Janganlah engkau
menukar kesesatan dengan petunjuk. Kuketuk dan kuketuk setiap pintu namun
kutangkap senyap gelap mendekap, sekali kudengar suara ‘siapa yang berkuasa

atas ada dan tiada’ gemanya memantul pada dinding tak bertemu jawab karena bukan tanya kau bawa hanya riap amarah dari getas jiwa. Perumpamaan tidak sanggup engkau terangkan pada petunjuk engkau mengutuk disempit jiwa engkau berkelana, engkau kapal layar tak bernakoda terombang ambing jadi sampah di cakrawala. Mengapa kamu ingkar pada perjanjian setelah teguh perjanjian padahal awalnya engkau tidak ada lalu Dia hidupkan dari air yang hina dalam tempat yang mulia engkau disiapkan menjadi sosok lemah tak bernama, tiba-tiba engkau menjadi angkuh dengan sejumput ilmu. Ingatlah saat Dia mengajarkan kepada Adam nama benda-benda satu persatu agar engkau menjadi tahu setelah tidak tahu. ‘Lalu para malaikat penjaga langit bersujud ‘sesungguhnya Engkau lebih tahu’.
Dengan mengeja Alif, Lam, Mim.
Sungguh kami sudah membuat kerusakan dan menumpahkan darah diatas bumi para lelaki mati ditangan kami, istiri-istri kehilangan suami, anak-anak kehilangan bapak jadi gambaran suram dimedan pertempuran, semesta jadi kelam. Putra-putra sejarah terus lahir dari rahim peradaban purba, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau. “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, Sungguh Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan dalam dada?” tapi engkau tetap saja berkutat dalam kesesatan sampai habis waktu yang dijanjikan. Benang cahaya ini begitu jelas menuntun kelam jiwa dari gelap menyekap menuju cahaya terang benderang. Tapi lentera akal yang tersia kulihat sekerjap saja, hanya sekerjap semakin menjauh dipalung kesengsaraan, pencarianmu tak pernah usai tersesat di bilik sempit jiwa. Kalau saja engkau sungguh-sungguh ruku bersama orang-orang yang ruku ada karunia dan rahmat atasmu dari Penerima taubat lagi Maha Bijaksana, tapi kamu jadikan itu permainan diwaktu luang padahal awalnya engkau tidak ada lalu Dia hidupkan dari air yang hina dalam tempat yang mulia engkau disiapkan menjadi sosok lemah tak bernama. Lihatlah langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Mari benahi lagi bangunan akal ini, sisihkan di tepi fikrah-fikrah asing yang menumpuk kumuh memenuhi ruang kesadaran berpikir, dan kedua tangan ini raihlah tanpa curiga.
Dengan mengeja Alif, Lam Mim
Kalau bukan karena Rahman dan Rahim tentu sudah lama langit diatasmu runtuh dan bumi dikaki ini rekah. Selamatkanlah jiwamu dan jiwa-jiwa dibawah tanganmu dengan dua berkas cahaya yang semburat dari kabar gembira dan peringatan yang dibawa Sang Utasan dari Yang Maha Memelihara. Ingatlah satu saat, apabila bumi digoncangkan dengan goncangan yang amat dahsyat, dan bumi mulai mengeluarkan beban-beban berat yang dikandungnya lalu bumi berceritera dengan ijin-Nya, ketika itu manusia bagaikan anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Dan manusia hanya sanggup berucap tanya ‘mengapa bumi jadi begini?’. Banyak muka yang semula pongah tengadah pada hari itu tunduk terhina,


JUM’AT BASAH


Jum’at basah
Udara basah,
Daun basah,
Tanah basah,
Jiwaku basah,
Waktu merambat resah,

Jalan berlubang dan genangan air mata
Arus lalu lintas terantuk batu kebodohan masyarakat kota
Para pemuja luber di jalan menjadi luka menganga
Rumah ibadah dipadati sampah yang diangkut penghuninya
Ahh... hatiku remuk meradang menahan seratus dera
Kota hujan ditelikung pembangunan tanpa rencana

Sejarah hutan hijau melambai dianganku merana
Pohon-pohon berjanggut dipagar birokrasi tak berdaya
rerantingya patah dibungkus plastik menjadi cenderamata
Catatan masa lalu bertumpuk menjadi rongsokan besi tua
Amarah, amarah yang tak terkendali jadi kompas menyesatkan jiwa
Aku terjebak dipusaran badai peradaban manusia

Dengan pongah meninggalkan Tuhan nya.

Kemang, 21 Februari 2014


SUARA DARI SERAMBI MEKAH
(dengn sepenuh doa untuk saudaraku di Aceh)

Kasih-Mu,
Ngejawantah dalam gulungan ombak rebah dan debaran jantung bumi menjadi rahasia duka
Direkahan tanah menelan tubuh-tubuh saudara
Kami terpana tak habis bertanya
Dengan bodoh dan pongah Coba menerka makna sebuah peristiwa

Kasih-Mu,
merambat dalam rangkaian rahasia alam, dalam lapisan bumi yang paling gelap, dalam dasar samudera jiwa, dalam gelegak air samudera, dalam patahan-patahan tanah kering hati hamba
Lalu semuanya basah oleh satu desakan Maha kuat ,gelombang tumpukan dosa, lelehan air duka
Didalam camp penampugan sementara

Kasih-Mu,
Mewarnai pantai diserambi rumah kami
Menjadi potongan-potongan asa yang semakin menjauh dari perkampungan tanah rencong
Meninggalkan anak-anak tanpa orang tua ditepi-tepi malam berhujan menggigilkan hati
Beterbangan serangkum doa dari seantero jiwa kami luka
Mencari rumah-rumah tak beralamat
  
Kaish-Mu
Duh, hanya kami hargai dengan silang selisih pendapat para ahli
Kulihat diantara tumpukan-tumpukan hati yang telah lama mati jauh sebelum datang badai
Menerbangkan helai-helai bulu tubuh kami, tersangkut diatap rumah abadi,
Terselip diselokan peradaban,Terombang ambing arus sungai lumpur parodi,
bahkan dalam kubangan dendam, derai airmata, keluh kesah, dan caci maki

Kasih-Mu,
Sejatinya semerbak jiwa yang bermuara pada sifat Rahim
Berulangkali jiwa ingin mati rasakan nikmat disambut malaikat berlapis cahaya
Bukan untuk ditangisi ditujuh malam putus asa
Gulungan raksasa air asin yang melanda memang bukan liukan tari seudati, saudara
Tapi sebuah dimensi yang sarat dengan makna

Kasih-Mu,
Berlari jauh mendahului murka paduka
Bukan seperti yang telah aku lihat diserambi rumahku tepi pantai sepi
Maka para pencari harus terus dikerahkan untuk menemukan jiwa-jiwa suci yang hilang
Dalam gulungan peradaban yang lebih liar dan mematikan daya nalar
Kita kepinggirkan jasad-jasad yang masih kita temui dalam setiap langkah hari

Kasih-Mu,
Bila harus kumaknai, aku memilih rahasia
Terlalu agung untuk menjadi bahan cerita
Karena kami lupa dan Kau kutinggalkan disemak-semak gelap hati kami
Secepatnya lebih pantas untuk dikasihani dan diselamakan
Dengan kiriman doa sejati dari seluruh jiwa yang selalu mencari  makna hakiki dibalik sebuah tragedi


Bogor, Januari, 24-2005

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bahasa Geram

18 Juni 2010 14:00:10 | Share
Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri

Bangsa ini sedang terserang virus apa sebenarnya? Apakah hanya karena panas global? Di rumah, di jalanan, di lapangan bola, di gedung dapur, bahkan di tempat-tempat ibadah, kita menyaksikan saja orang yang marah-marah. Tidak hanya laku dan tindakan, ujaran dan kata-kata pun seolah-olah dipilih yang kasar dan menusuk. Seolah-olah di negeri ini tidak lagi ada ruang untuk kesantunan pergaulan. Pers pun –apalagi teve--tampaknya suka dengan berita dan tayangan-tayangan kemarahan.

Lihatlah “bahasa” orang-orang terhormat di forum-forum terhormat itu dan banding-sandingkan dengan tingkah laku umumnya para demonstran di jalanan. Seolah-olah ada “kejumbuhani” pemahaman antara para “pembawa aspirasi” gedongan dan “pembawa aspirasi” jalanan tentang “demokrasi”. Demokrasi yang–setelah euforia reformasi--dipahami sebagai sesuatu tatanan yang mesti bermuatan kekasaran dan kemarahan.

Yang lebih musykil lagi “bahasa kemarahan” ini juga sudah seperti tren pula di kalangan intelektual dan agamawan. Khotbah-khotbah keagamaan, ceramah-ceramah dan makalah-makalah ilmiah dirasa kurang afdol bila tidak disertai dengan dan disarati oleh nada geram dan murka. Seolah-olah tanpa gelegak kemarahan dan tusuk sana tusuk sini bukanlah khotbah dan makalah sejati.

Khususnya di ibu kota dan kota-kota besar lainnya, di hari Jumat, misalnya, Anda akan sangat mudah menyaksikan dan mendengarkan khotbah “ustadz” yang dengan kebencian luar biasa menghujat pihak-pihak tertentu yang tidak sealiran atau sepaham dengannya. Nuansa nafsu atau keangkuhan “Orang Pintar Baru” (OPB) lebih kental terasa dari pada semangat dan ruh nasihat keagamaan dan ishlah.

Kegenitan para ustadz OPB yang umumnya dari perkotaan itu seiiring dengan munculnya banyak buku, majalah, brosur dan selebaran yang “mengajarkan” kegeraman atas nama amar makruf nahi munkar atau atas nama pemurnian syariat Islam. Penulis-penulisnya–yang agaknya juga OPB—di samping silau dengan paham-paham dari luar, boleh jadi juga akibat terlalu tinggi menghargai diri sendiri dan terlalu kagum dengan “pengetahuan baru”-nya. Lalu menganggap apa yang dikemukakannya merupakan pendapatnya dan pendapatnya adalah kebenaran sejati satu-satunya. Pendapat-pendapat lain yang berbeda pasti salah. Dan yang salah pasti jahanam.

Dari bacaan-bacaan, ceramah-ceramah, khotbah-khotbah dan ujaran-ujaran lain yang bernada geram dan menghujat sana-sani tersebut pada gilirannya menjalar-tularkan bahasa tengik itu kemana-mana; termasuk ke media komunikasi internet dan handphone. Lihatlah dan bacalah apa yang ditulis orang di ruang-ruang yang khusus disediakan untuk mengomentari suatu berita atau pendapat di “dunia maya” atau sms-sms yang ditulis oleh anonim itu.

Kita boleh beranalisis bahwa fenomena yang bertentangan dengan slogan “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah” tersebut akibat dari berbagai faktor, terutama karena faktor tekanan ekonomi, ketimpangan sosial dan ketertinggalan. Namun, mengingat bahwa mayoritas bangsa ini beragama Islam pengikut Nabi Muhammad SAW, fenomena tersebut tetap saja musykil. Apalagi jika para elit agama yang mengajarkan budi pekerti luhur itu justru ikut menjadi pelopor tren tengik tersebut.

Bagi umat Islam, al-khairu kulluhu fittibaa’ir Rasul SAW, yang terbaik dan paling baik adalah mengikuti jejak dan perilaku panutan agung, Nabi Muhammad SAW. Dan ini merupakan perintah Allah. Semua orang Islam, terutama para pemimpinnya, pastilah tahu semata pribadi, jejak-langkah dan perilaku Nabi mereka.

Nabi Muhammad SAW sebagaimana diperikan sendiri oleh Allah dalam al-Quran, memiliki keluhuran budi yang luar biasa, pekerti yang agung (Q. 68:4). Beliau lemah lembut, tidak kasar dan kaku (Q. 3: 159). Bacalah kesaksian para shahabat dan orang-orang dekat yang mengalami sendiri bergaul dengan Rasulullah SAW. Rata-rata mereka sepakat bahwa Panutan Agung kita itu benar-benar teladan. Pribadi paling mulia; tidak bengis, tidak kaku, tidak kasar, tidak suka mengumpat dan mencaci, tidak menegur dengan cara yang menyakitkan hati, tidak membalas keburukan dengan keburukan, tapi memilih memaafkan. Beliau sendiri menyatakan, seperti ditirukan oleh shahabat Jabir r.a,“InnaLlaaha ta’aala lam yab’atsnii muta’annitan...”, Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai utusan yang keras dan kaku, tapi sebagai utusan yang memberi pelajaran dan memudahkan.

Bagi Nabi Muhammad SAW pun, orang yang dinilainya paling mulia bukanlah orang yang paling pandai atau paling fasih bicara (apalagi orang pandai yang terlalu bangga dengan kepandaiannya sehingga merendahkan orang atau orang fasih yang menggunakan kefasihannya untuk melecehkan orang). Bagi Rasulullah SAW orang yang paling mulia ialah orang yang paling mulia akhlaknya. Wallahu a’lam.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sastra Sufi Melayu dan Gemanya dalam Sastra Modern Indonesia

Sastra Sufi merupakan bagian penting dari keseluruhan khazanah intelektual Islam, baik di Dunia Arab, Persia, Melayu Nusantara dan lain-lain. Ia juga merupakan salah satu dari warisan peradaban Islam yang relevan dan diminati hingga sekarang. Namun selama beberapa puluh tahun, khususnya di Indonesia, khazanahnya yang kaya itu telah diabaikan oleh kaum terpelajar Muslim dan jarang dijadikan bahan kajian oleh sarjana-sarjana sastra. Akan tetapi bersamaan dengan tumbuhnya kembali minat terhadap tasawuf dewasa ini, tumbuh pula minat untuk meneliti  teks-teks tasawuf dan wacana sastra sufi di Asia maupun Eropa serta Amerika. Sebelumnya, selama lebih kurang tiga dasawarsa (sejak 1970an) telah muncul kecenderungan sufistik atau kesufian dalam penulisan karya sastra. Ini tampak misalnya dalam karya penulis terkemuka seperti Danarto, Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail,  Hamid Jabbar, Emha Ainunnadjib, Ahmadun Y Herfanda, Jamal D. Rahman, Ajamuddin Tifani, Juftazani, Acep Zamzam Noor, dan banyak lagi penulis yang lain.
Tentu saja saya tidak ingin terburu-buru  menyebut mereka sebagai sufi atau penganut ajaran tasawuf tertentu seperti Sunan Bonang, Hamzah Fansuri, Syekh Yusuf Makassari,  Raja Ali Haji dan K. H. Hasan Mustafa. Namun dengan tampaknya jejak estetik dan pandangan sufi dalam karya penulis-penulis Indonesia mutakhir itu menunjukkan bahwa sastra sufi masih wujud dan relevan sebagai sumber rujukan atau ilham penciptaan sastra modern.
Secara umum karya penulis sufi mengungkapkan jenis-jenis pengalaman kerohanian seorang sufi dalam perjalanan mereka mencari kebenaran, atau keadaan-keadaan jiwa yang mereka alami dalam menempuh jalan kerohanian di jalan tasawuf atau cinta ilahi. Dalam setiap tahapan perjalanan rohani atau pencariannya itu seorang penulis berikhtiar menafsirkan makna keadaan jiwa dan peristiwa-peristiwa batin yang mereka alami, serta kemudian berusaha mengungkapkan pemahaman dan penafsirannya dalam ungkapan estetik sastra.  Ungkapan estetik mereka penuh dengan tamsil dan perumpamaan yang simbolik dan imaginatif.
Tamsil-tamsil atau perumpamaan-perumpamaan yang dijadikan sarana untuk mengungkapkan gagasan atau pengalaman kesufian mereka itu ada yang diambil dari al-Qur`an atau kisah-kisah dalam al-Qur`an, ada yang diambil dari sejarah zaman Islam dan pra-Islam, ada yang diambil dari cerita rakyat, budaya lokal dan peristiwa semasa yang penting. Ada pula yang diangkat dari alam lingkungan sekitarnya dan kehidupan sehari-hari masyarakat.  Karena ilham penulisan sastra sufi dan bangunan estetikanya didasarkan pada kandungan falsafah perenial Islam yang universal – terutama gagasan cinta (`isyq dan mahabbah), makrifat, iman, penglihatan rohani, hakikat manusia sebagai khalifah Allah di bumi dan hamba-Nya, akibat-akibat buruk cinta berlebihan pada dunia dan gagasan lain – maka tak mengherankan apabila pesan moral dan kerohanian penulis sufi senantiasa relevan dan melampaui zamannya. Kehampaan rohani yang dirasakan manusia modern akibat tekanan peradaban dan kebudayaan material, membuat sastra sufi kian relevan di mata beberapa penulis yang telah karib dengan tasawuf.
Tulisan ini bertujuan antara lain membahas kesinambungan sastra sufi Melayu, khususnya kepenyairan Hamzah Fansuri, dalam sastra Indonesia modern. Yang hendak dibahas terutama ialah kesinambungan wawasan estetiknya sebagaimana tampak dalam karya beberapa penulis Indonesia 1930an dan 1970an – dua periode penting dalam sejarah sastra Indonesia modern, ketika sastra sufi  merupakan bacaan dan rujukan penting sebagian penulis Indonesia terkemuka.

Romantisme Sufistik Pujangga Baru

Telah sering dikemukakan bahwa Pujangga Baru sebagai gerakan sastra modern yang muncul pada dasawarsa 1930an dipengaruhi oleh aliran romantisme yang berkembang pada abad ke-19 di Negeri Belanda dan Inggris. Namun para penulis sering mengabaikan hubungan romantisme Inggeris dengan gerakan pemikiran lain yang tumbuh pada waktu itu seperti transendentalisme dan mistisisme. Seperti kaum transendentalis dan mistik, kaum romantik percaya kepada pengaruh alam adikodrati terhadap kehidupan manusia, dan berusaha mendapatkan ilham penciptaan dari kekuatan adikodrati melalui sarana intuisi dan imajinasi. Ini terlihat dalam gagasan dan karya penyair romantik Inggeris terkemuka seperti Coleridge, Wordsworth, P. B. Shelley dan lain-lain.
Di Indonesia gerakan romantik muncul bersamaan dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan hasrat memadukan semangat kebudayaan Barat modern yang individualistis dan semangat kebudayaan Timur yang religius dan spiritualistis. Romantisme modern lantas bertemu dengan tradisi sastra mistik dan sastra sufi yang telah berakar lama dalam budaya masyarakat Nusantara. Bukan pula suatu kebetulan apabila pertemuan Timur Barat tersebut nampak dalam karya dua penulis Pujangga Baru terkemuka, Sanusi Pane dan Amir Hamzah.
Sanusi Pane, penyair kelahiran Muara Sipongi di Sumatera Utara pada tahun 1908, adalah  seorang ahli sejarah dan falsafah Timur. Dalam karangan-karangannya ia mengakui bahwa pengaruh romantisme Belanda (Tachtigers) baru terjadi kemudian setelah dia membaca karya-karya Rumi dan ahli-ahli mistik India. Beberapa sajaknya dan wawasan estetik yang melatari sajak-sajaknya,  misalnya pendapatnya yang menyatakan bahwa puisi merupakan “Gerakan sukma yang mengalir ke indah kata”, ternyata memiliki hubungan batin yang erat dengan puisi penulis Sufi seperti Jalaluddin Rumi dan Hamzah Fansuri.
Sebagaimana dikatakan Teeuw (1994) pernyataan tersebut merupakan awal dari munculnya gerakan sastra yang mengutamakan individualitas dalam penciptaan, suatu pernyataan yang kemudian lebih ditegaskan lagi oleh Chairil Anwar pada tahun 1940an. Namun Teeuw juga menegaskan bahwa pernyataan semacam itu telah didahului oleh Hamzah Fansuri tiga abad sebelumnya pada abad ke-16 M. Dalam setiap bait penutup ikat-ikatan syairnya Hamzah Fansuri senantiasa menekankan bahwa semua yang diungkapkan dalam syairnya merupakan pengalaman pribadinya. Misalnya sebagaimana  dalam  beberapa  bait penutup sajaknya berikut ini:

Hamzah  miskin hina dan karam
Bermain mata dengan Rabb al`alam
Selamnya sangat terlalu karam
Seperti mayat sudah tertanam

(Ikat-ikatan III Ms. Jak. Mal. 83)

Hamzah Fansuri anak dagang
Melenyapkan dirinya tiada sayang
Jika berenang tidak berbatang
Jika berlabuh pada tempat tiada berkarang

(Ikat-ikatan VII Ms. Jak. Mal. 83)

Hamzah `uzlat di dalam tubuh
Ronanya habis sekalian luruh
Zahir dan batin menjadi suluh
Olehnya itu tiada bermusuh

(Ikat-ikatan XVIII Ms. Jak. Mal. 83)

Bagi penulis sufi puisi merupakan tangga naik menuju pengalaman transendental. Agar tercapai maka peralatan-peralatan dari ungkapan puitik seperti citraan, tamsil dan metafora dijadikan simbol yang memuat gagasan kerohanian melalui cara tertentu, misalnya meletakkan penanda kesufian tertentu seperti ’anak dagang’ atau istilah teknis tasawuf atau agama seperti Rabb al-`Alam dan lain-lain.
Salah satu tema yang disukai penyair Sufi ialah tema ’pencarian hakekat diri yang batin, universal dan tidak berjejak di mana pun selain dalam wujud diri manusia yang terdalam’. Sajak Sanusi Pane ”Mencari” menunjukkan kepada kita bahwa puisi merupakan sarana atau tangga naik menuju pengalaman transendental, walaupun menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari perjalanan lahir. Sajak tersebut juga memiliki kaitan dengan tema ’pencarian hakekat diri batin manusia’ yang digemari para penulis Sufi. Sanusi Pane menulis:

Aku mencari
Di kebun India
Aku pesiar
Di taman Yunani
Aku berjalan
Di tanah Roma
Aku mengembara
Di benua Barat

Segala buku
Perpustakaan dunia
Sudah kubaca
Segala filsafat
Sudah kuperiksa

Akhirnya `kusampai
Ke dalam taman
Hati sendiri
Di sana Bahagia
Sudah lama
Menanti daku

(Madah Kelana 45).

Pencarian dalam sajak tersebut tidak berbeda dengan yang diungkapkan Jalaluddin Rumi dalam sebuah sajaknya yang terkenal. Dikatakan dalam sajak itu bahwa Rumi mengembara ke bukitt Qaf, mencari di palang salib dan pagoda-pagoda Buddhis, agar menjumpai hakekat dirinya yang batin dan asal-usul kerohaniannya, namun yang dicari itu dijumpa dalam taman kalbunya sendiri. Citraan simbolik taman  yang digunakan Sanusi Pane juga  sudah lazim digunakan oleh penulis-penulis Muslim, terutama penulis Sufinya.
Bandingkan pula sajak Sanusi Pane dengan bait syair Hamzah Fansuri berikut ini:

Hamzah Fansuri di dalam Mekkah
Mencari Tuhan di Bait al-Ka`bah
Di Barus ke Quds terlalu payah
Akhirnya dapat di dalam rumah

(Ikat-ikatan XXI Ms. Leiden Cod. Or. 2016)

Gema puisi sufi Melayu tidak hanya terasa gaungnya dalam wawasan estetik tetapi juga dalam puitika atau sistem persajakan. Salah satu sajak Sanusi Pane yang terkenal ”Dibawa Gelombang” (Madah Kelana 16) memperlihatkan keterikatan penulis Pujangga Baru pada sistem persajakan klasik Melayu:

Alun membawa bidukku pelahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah ke mana aku tak tahu

Jauh di atas bintang kemilau
Seperti sudah berabad-abad
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi yang kecil amat

Aku bernyanyi dengan suara
Seperti bisikan angin di daun
Suaraku hilang dalam udara
Dalam laut yang beralun-alun

Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah ke mana aku tak tahu

Walaupun pola sajak yang digunakan dalam ”Dibawa Gelombang” ialah a.b.a.b. sebagaimana lazim dalam pantun, namun sajak tersebut lebih mirip syair. Selain tidak tersirat adanya sampiran dan isi atau pembayang dan maksud pada setiap baitnya, seperti halnya syair pada umumnya sajak ”Dibawa Gelombang” berkecenderungan naratif, menceritakan  bukan sekedar melukiskan sesuatu. Ceritera yang disajikan adalah serupa dengan ceritera dalam syair-syair sufi berupa pengalaman atau perjalanan rohani penyair dan keadaan jiwa yang dialaminya dalam perjalanan mencapai unio-mystica (persatuan mistik) dengan jiwa alam semesta, yang tak lain adalah keluasan tak bertepi.
Hubungan sajak tersebut dengan syair-syair Hamzah Fansuri dapat dilihat pula pada motif penggunaan tamsil laut dan perahu. Di antara sajak Hamzah Fansuri yang dapat dirujuk ialah bait-bait dalam ikat-ikatan XVIII Ms. Jak. Mal. 83:

Jika hendak engkau menjeling sawang
Ingat-ingat akan ujung karang
Jabat kemudi jangan kaumamang
Supaya betul ke bandar datang

Anak mu`alim tahu akan jalan
Da’im (senantiasa) berlayar di laut nyaman
Markabmu (geladak kapal) tiada berpapan
Olehnya itu tiada berlawan

Indah-indahkan  Abu al-Qasim (Nabi Muhammad s.a.w.)
Di dalam markab da’im ia qa`im (mendirikan salat)
Lagi tukang (piawai) lagi ia mu`alim
Ke bandar tauhid markabnya salim (selamat)

Bait syair Hamzah Fansuri lain yang menggunakan tamsil laut dan mengandung gagasan tentang fana’ atau persatuan mistik menurut pandangan sufi ialah bait dalam ikat-ikatan XXIII Ms. Jak. Mal. 83:

Di laut `ulya (maha tinggi) yogya berhanyut
Dengan hidup suwari (khayali) jangan berkabut
Katakan Ana al-Haqq jangan kautakut
Itulah ombak kembali ke laut

Laut `ulya yang dimaksud dalam sajak tersebut ialah lautan wujud atau kewujudan yang tinggi, yaitu alam ketuhanan (`alam lahut). Di sini hakekat atau asal-usul kerohanian diri manusia yang sebenarnya. Untuk mencapai hakekat tersebut manusia tidak boleh dikacaukan oleh kehidupan serba duniawi (hedonisme material) yang bersifat khayali, karena kesenangan yang didapatkan bersifat sementara dan cepat berlalu. Dalam dua bait berikutnya tergambar gagasan sufi tentang unio-mystica, yaitu persatuan kembali diri (secara batin) dengan hakekat atau asal-usul kejadiannya, yaitu sebagai sarana kreativitas Tuhan (Bersambung ke bagian 2, Kesinambungan Estetika Sufi)

Kesinambungan Estetitka Sufi dan dan Gemanya Dalam Sastra Indonesia Modern

Kesinambungan estetika sufi Melayu lebih ketara lagi dalam sajak-sajak Amir Hamzah. Bahkan melalui sajak-sajaknya seorang penafsir dapat menemukan rujukan tentang bangunan estetika sufistik modern. Sebagaimana telah sering dilukiskan dalam buku-buku sufi, estetika sufi berkaitan dengan ajaran ahli tasawuf tentang tatanan berperingkat wujud dari yang tertinggi sampai terendah, yaitu dari alam lahut (alam ketuhanan) yang bersifat tanzih (trasendental), lantas alam jabarut dan alam malakut (kerohanian) yang merupakan perantara alam atas dan alam bawah, hingga alam nasut (alam kemanusiaan, dunia jasmani) atau alam syahadah (alam inderawi). Namun apabila metafisika atau ontologi menekankan pada tatanan alam kewujudan  yang di atas, serta hakekat dan isyarat kehadirannya di alam yang lebih rendah; maka estetika menekankan pembicaraan pada tatanan alam zhahir yang lebih rendah sebagai ide-ide citraan atau bentuk-bentuk simbolik dari  alam kewujudan di atasnya yang bersifat batin dan tanzih.
Dengan demikian estetika sufi sebenarnya merupakan sistem pengetahuan bagaimana menjadikan fenomena-fenomena alam kemanusiaan dan inderawi sebagai tangga naik menuju alam kewujudan yang lebih tinggi. Agar  bisa dijadikan sarana atau tangga naik, maka fenomena-fenomena kehidupan atau alam itu mestilah diubahsuai menjadi ide-ide citraan yang  simbolik. Dengan cara demikian maka ide-ide citraan itu akan  menjelma ungkapan estetik yang berperanan membawa kita pergi dari alam dunia ke alam rohani. Yang dikemukakan para penyair sufi sebenarnya ialah perjalanan batin mereka menuju alam hakekat. Karena perjalanan tersebut perjalanan naik dari alam bawah menuju alam atas, atau dari alam zahir menuju alam batin, maka ia sering sering diungkapkan sebagai perjalanan dari tempat yang rendah menuju tempat yang tinggi (puncak bukit  atau gunung) atau dinyatakan secara simbolik dalam ungkapan penyelaman ke dalam lautan maha dalam.
Sebagaimana telah sering dilukiskan, di antara sajak-sajak Amir Hamzah yang ketara ciri sufistiknya ialah ”Berdiri Aku”.  Namun karena telah sering dibicarakan saya ingin menunjukkan sajaknya yang lain, yaitu ”Hanya Satu”. Dalam sajak ini perjalanan naik ke alam rohani digambarkan dengan naiknya Nabi Nuh a.s. ke dalam kapal yang dibuat atas perintah Tuhan untuk menyelamatkan kaum beriman, jadi kapal dilambangkan sebagai keimanan yang dapat menyelamatkan manusia di tengah bencana dan malapetaka.
Penyair juga menggunakan tamsil-tamsil dari al-Qur`an, yaitu kisah Nabi Ibrahim a.s. dengan dua putranya tercinta yang berbeda ibu, yaitu Nabi Ismail a.s. dan Nabi Ishaq a.s. yang masing-masing menurunkan Nabi Muhammad s.a.w.  dan Nabi Isa a.s.

Terapung naik jung bertudung
Tempat berteduh nuh kekasihmu
Bebas lepas lelang lapang
Di tengah gelisah, swara sentosa


Bersemayam sempana di jemala gembala
Juriat julita bapaku ibrahim
Keturunan intan dua cahaya
Pancaran putera berlainan bunda

Kini kami bertikai pangkai
Di antara dua, mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
Lengah lengang melewat abad

Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Hanya satu kutunggu hasrat
Merasa dikau dekat rapat
Serupa musa di puncak tursina

(Nyanyi Sunyi 4-5)

Ungkapan berkenaan pertikaian  dua umat beragama  pengikut Nabi Isa a.s. dan Nabi Muhammad s.a.w., sebenarnya memiliki konteks sejarah yang jelas. Pada masa Amir Hamzah benih persengketaan Islam dan Kristen memang sudah mulai terasa, hal yang kembali diungkapkan oleh Umar Kayam dalam novelnya Para Priyayi yang  tempat ceritera berlangsung antara lain ialah Solo pada tahun 1930an tempat Amir Hamzah belajar pada waktu muda.
Tiga abad sebelumnya Hamzah Fansuri menulis sajak menggunakan tamsil yang sama, khususnya mengenai pengalaman mistikal yang dijumpai Nabi Musa a.s. di puncak Bukit Sinai atau Tursina:

Kunhi-Nya itu bukannya diya’ (cahaya zahir)
Jangan kauantarkan di atas Tursina
Sungguhpun Musa di sana liqa’ (berjumpa dengan-Nya)
Bukan bukit itu tempatnya lena

(Ikat-ikatan XIII Ms. Jak. Mal. 83)

Penyair menyatakan di situ bahwa walaupun Nabi Musa a.s. dapat berjumpa dengan-Nya di Tursina, yaitu dengan mendengar suara-Nya, namun perjumpaan sebenarnya dengan Tuhan terjadi dalam kalbu atau penglihatan rohaninya karena telah mencapai makrifat dan memperoleh kasyf (penyingkapan rohani). Bukit Sinai, walaupun dialami secara jasmani, tetap merupakan tamsil dan misal dari pencapaian rohaninya yang tinggi di jalan tauhid dan makrifat, atau semata-mata sarana bagi perjumpaannya. Dari kisah Nabi Musa a.s. ini penulis-penulis sufi mengambil tamsil puncak bukit atau gunung sebagai maqam tertinggi dalam tasawuf, yaitu qurb atau kedekatan diri seseorang secara batin dengan Tuhannya.
Bahwa Amir Hamzah sangat dekat dengan tradisi sastra sufi Melayu, dan juga Jawa, dapat dilihat pada sajaknya ”Sebab Dikau” yang menggunakan tamsil wayang. Pada abad ke-16 M di Jawa Sunan Bonang telah menggunakan tamsil wayang secara intensif dalam Suluk Wujil, begitu pula pada abad ke-17 M seorang murid Hamzah Fansuri bernama Abdul Jamal dalam syair tasawufnya. Dalam syairnya itu Abdul Jamal menulis:

Wahdat itulah bernama bayang-bayang
Di sana nyata wayang dan dalang
Muhitnya lengkap pada sekalian padang
Musyahadah di sana jangan kepalang

(Doorenbos 1933:71)

Bandingkan sajak tersebut dengan puisi Amir Hamzah ”Sebab Dikau” berikut ini:



Maka merupa di datar layar
Wayang warna menayang rasa
Kalbu rindu turut menurut
Dua sukma esa – mesra –

Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu, sepajang dendang

Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau di kotak terletak
Aku boneka engkau boneka
Penyenang dalang mengarang sajak

(Nyanyi Sunyi 14)

Teeuw (1979:99) hanya mengatakan bahwa sajak tersebut mengungkapkan hubungan manusia dengan Tuhan, dan A. H. Johns (1964) hanya mengatakan bahwa pengaruh kebudayaan Jawa sangat jelas dalam sajak tersebut. Namun dengan membandingkan sajak tersebut dengan syair Abdul Jamal, menjadi lebih jelas lagi hubungan Amir Hamzah dengan tradisi sastra sufi Melayu dan bukan hanya dengan tradisi sastra Jawa. Bahkan juga dengan tradisi sastra sufi Arab dan Persia yang tidak jarang menggunaan ide-ide citraan wayang dalam sajak-sajak mereka sebagaimana nampak dalam karya Umar Khayyam, Ibn Farid, Fariduddin `Attar dan Jalaluddin Rumi.
Dalam salah satu ruba’inya misalnya Umar Khayyam menulis seperti berikut:

Kita adalah wayang dan langit dalangnya
Ini bukan kiasan tetapi kenyataan
Sesaat kita diberi peran di layar ini
Lalu kembali ke kotak satu persatu dan dilupakan

(Abdul Hadi W. M. 1999:150)


Pendakian dan Transformasi Diri

Telah dikemukakan bahwa salah satu tema penting sastra sufi ialah pengenalan diri batin yang hakiki di jalan cinta ilahi (`isyq). Karena pencarian tersebut bersifat vertikal, ia sering digambarkan dengan perjalanan mendaki dan penerbangan ke puncak gunung atau bukit, seperti penerbangan burung-burung dalam Mantiq al-Thayr karya Fariduddin al-`Attar. Di situ burung-burung, yang merupakan tamsil kalbu atau jiwa manusia yang merindukan Yang Haqq, melakukan penerbangan ke puncak bukit Qaf – tempat Simurgh, raja diraja burung bersemayam, yang merupakan lambang hakekat ketuhanan dan sekaligus lambang hakekat diri manusia.  Pendakian ke atas gunung atau bukit juga menemukan perumpamaan dalam kisah nabi-nabi. Misalnya Nabi Nuh a.s. setelah melakukan pelayaran panjang tak tahu tujuan dengan bahteranya, pada akhirnya tiba dengan selamat di atas bukit Ararat;  Nabi Musa a.s.  mendengar seruan Tuhan di puncak Tursina.
Tidak jarang perjalanan naik perjalanan naik atau penerbangan ke puncak bukit dipadankan dengan gejala-gejala alam pada saatnya terjadinya perubahan, misalnya perubahan waktu dari siang ke malam hari. Di sini angin, hujan, perubahan cuaca dan udara dan munculnya bintang-bintang, berperan sebagai sarana untuk melukiskan keadaan jiwa atau rohani penulis dalam menempuh perjalanan kerohanian.
Di sini dapat diambil contoh sajak Amir Hamzah ”Berdiri Aku”. Dalam sajak itu pencapaian rohani dan keadaan jiwa dalam perjalanannya menuju alam transenden digambarkan melalui citraan ide ((idea image) seperti camar yang melayang ”menepis buih” (mungkin maksudnya melepaskan diri dari yang zahir atau yang formal), pohon bakau yang ”mengurai puncak”, ”ubur terkembang” (setelah berjulang datang); angin yang ”memuncak sunyi” dan seterusnya.  Inilah keadaan leka, hapus atau fana’ dalam lukisan puisi, suatu tahapan yang dalam tasawuf sering dikatakan terjadi setelah tahapan kemabukan mistikal dan ketakjuban pada keindahan ilahi. Maka selain keindahan (jamal) atau keelokan, gagasan tentang ketakjuban (haybah, ajib) merupakan hal penting dalam estetika sufi. Hanya melalui tahapan-tahapan kerohanian (maqam) semacam itu dapat mengenal dirinya atau tempat dirinya dalam dunia ciptaan, dan hanya setelah melalui tahapan-tahapan tersebut seseorang dapat melakukan transformasi diri.
Demikianlah, seperti elang yang  leka  setelah dimabuk warna berarak-arak (yakni mabuk dalam rasa takjub menyaksikan keindahan Yang Maha Indah), seseorang mengalami transformasi diri. Oleh Amir Hamzah  dilukiskan sebagai  jiwa yang dirasuk kerinduan mendalam:

Dalam rupa maha sempurna
Rindu sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Mencecap hidup bertentu tuju

Dalam  ‘Syair Burung Pingai ‘ (Ikat-ikatan XIV Ms. Jak. Mal. 83)  Hamzah Fansuri melukiskan bentuk transformasi diri yang dicapai oleh seorang yang menempuh  jalan kerohanian, sebagai berikut:

Sufinya bukannya kain
Fi al-Makkah da’im bermain
`Ilmunya zahir dan batin
Menyembah Allah terlalu rajin

Suluhnya terlalu terang
Harinya tiada berpetang
Jalannya terlalu henang
Barang mendapat dia terlalu menang

Pada akhir buku Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) Fariduddin al-`Attar menggambarkan lebih kurang keadaan burung-burung yang telah mencapai tujuan perjalanannya menjumpai Smurgh, sebagai berikut:

Melalui kesukaran dan kehinaan jiwa burung-burung itu menyusut
Ke dalam kefanaan, sedangkan tubuh mereka menjadi debu.
Setelah dimurnikan mereka menerima hidup bari dari Cahaya Hadirat-
Nya.
Laku dan diam mereka di masa lalu enyah dan lenyap dari lubuk dada
mereka.
Matahari Kehampiran bersinar terang dari diri mereka, jiwa mereka
diterangi oleh cahayanya.
Dalam pantulan wajah tigapuluh burung (si-murgh) dunia, mereka
lantas menyaksikan wajah Simurgh
Jika mereka memandang, itulah Simurgh: Tak diragukan Simurgh
adalah tiga puluh (si-murgh) burung
Semua bingung penuh takjub, tak tahu siapa diri mereka sebenarnya
Mereka memandang diri mereka tak lain adalah Simurgh.

Citra bercorak sufistik yang menggambarkan pendakian rohani ke puncak hakekat diri juga tampak dalam beberapa sajak Sutardji Calzoum Bachri. Misalnya dalam sajak ”Para Peminum”:



di puncak gunung mabuk
mereka berhasil memetik bulan
mereka menyimpan bulan
dan bulan menyimpan mereka
di puncak
semuanya diam dan tersimpan

(Kapak 14)

Nada sufistik juga ketara dalam sajaknya yang lain ”Silakan Judul” (Kapak 17):

di atas anggur
di bawah anggur
gugur waktu
rindu rindu

di atas langit
di bawah langit
janji puncak
tak menunggu

di atas bibir
di bawah bibir
kamus tak sanggup
mengucapku

Hakekat diri manusia, menurut penyair, tidak dapat difahami hanya dengan bersandar pada ilmu-ilmu formal, juga tidak hanya melalui jalan rasional yang diumpamakan sebagai ”kamus”. Namun sajak Sutardji Calzoum Bachri yang paling menarik dalam kaitan ini ialah sajak ”Sampai”.

Rumi menari bersama Dia
tapi kini di mana Rumi
Hamzah jumpa Dia di rumah
tapi kini di mana Fansuri
Tardji menggapai Dia di puncak
tapi kini di mana Tardji

kami tak di mana mana
kami mengatas meninggi
kami dekat

Kalau kalian mabuk Tuhan
kami mabuk sama kalian
kalau kalian rindu Dia
rindu kalian bersama kami
kalau kembali ke rumah Diri
kalian kembali ke rumah kami
sampai kalian ke puncak nurani
kalian pun sampai sebatas kami

Dalam prosa gagasan sastra sufistik tampak dalam cerpen-cerpen Danarto (dalam antologi seperti Godlob, Adam Makrifat, Berhala, Gergazi dan Setangkai Melati di Sayap Jibril) dan M. Fudoli Zaini (dalam antologi Arafah, Batu Setan dan Potret Manusia), serta dalam novel Kuntowijoyo (Khotbah di Atas Bukit) dan Danarto (Asmaraloka). Namun karena keterbatasan ruang dan waktu, di sini hanya akan dikemukakan estetika sufistik yang diterapkan Kuntowijoyo dalam novel Khotbah di Atas Bukit. Perjalanan mencari hakekat hidup dalam novel ini digambarkan dengan perjalanan tokoh protagonis Barman ke tempat peristirahatan di lereng bukit, dan perjumpaan dengan tokoh antagonis Humam, yang tak lain adalah kembaran dirinya.
Pada mulanya Barman berniat menghabiskan masa tuanya dengan beristirahat di sebuah vila di lereng gunung. Dia pergi ditemani seorang wanita muda cantik, Poppy. Namun suatu  peristiwa terjadi secara tak disangka-sangka dan merubah jalan hidupnya. Ketika dia berjalan-jalan di gunung, membersihkan badan di sungai yang jernih, tiba-tiba dia berjumpa seorang lelaki bernama Humam. Humam, yang tidak lain adalah kembaran dirinya, muncul sebagai seorang guru kerohanian yang wejangan-wejangannya tentang hidup sangat menarik perhatian Barman. Barman yang semula hidup dalam gelimang hedonisme material, kini tenggelam dalam spiritualitas. Ini membuat Poppy putus asa dan akhirnya mereka berpisah. Barman sendiri pada akhirnya jatuh ke dalam jurang bersama kuda putih yang ditungganginya.
Pemakaian simbol-simbol sufistik seperti pendakian ke gunung untuk menggambarkan perjalanan rohani mencari hakekat diri;  penyucian diri di sungai yang airnya jernih sambil merenung dan menghanyutkan diri dalam keheningan air sungai;  perjumpaan dengan Humam yang tak lain adalah alter-ego nya, atau sisi kerohanian dari kehidupan pribadinya; serta kematiannya setelah kuda putih yang ditungganginya jatuh ke dalam jurang dan lain-lain – semua itu menunjukkan estetika sufi yang dapat ditransformasikan ke dalam  berbagai bentuk pengucapan modern.
Pertemuan dua tokoh kembar Barman dan Humam di hutan dekat sungai di lereng gunung, dapat dirujuk pada kisah perjumpaan Iskandar Zulkarnaen dan Khaidir dalam Hikayat Iskandar Zulkarnaen; juga dengan pertemuan Bima dengan Dewa Ruci dalam alegori mistikal Jawa terkenal Serat Dewa Ruci. Bedanya dalam Hikayat Iskandar Zukarnaen dan Serat Dewa Ruci perjalanan mencari hakekat diri dan makrifat (dilambangkan dengan air hayat atau ma`al-hayat) digambarkan melalui perjalanan ke dalam lautan wujud. Di dalam lautan wujud dirinya itulah Bima berjumpa Dewa Ruci, makhluk kerdil yang menyerupai dirinya. Walaupun secara jasmani Dewa Ruci kelihatan kecil, namun Bima yang bertubuh besar dapat masuk ke dalam diri Dewa Ruci melalui telinganya. Ini melambangkan luluhnya diri jasmani dalam diri rohani. Pengalaman serupa dialami Barman setelah berjumpa Humam. Peleburan diri Barman dengan Humam terjadi setelah kematian Barman ke dalam jurang bersama kuda putihnya. Kuda putih melambangkan kendaraan kematiaan Barman menuju pencapaian keruhanian yang lebih bersih dibandingkan dengan kehidupannya sebelum bertemu Humam.

Senarai Rujukan


A.E. I. Falconar (1991). Sufi Literature and the Journey to Immortality. Delhi: Motilal
Banardssidass Publishers PVT. LTD.

Abdul Hadi W. M. (1999) Kembali ke Akar Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka Firdaus.

---------------------    (2001) Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-
karya Hamzah Fansuri. Jakarta:  Yayasan Paramadina.

Amir Hamzah (1969). Buah Rindu. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

-----------------  (1978). Nyanyi Sunyi. Jakarta: PT. Dian Rakyat

Annemarie Schimmel  (1981). Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: The University
of North Carolina Press.

A.Teeuw (1979). Modern Indonesian Literature. 2 vols. Leiden: Martinus Nijhoff.

----------  (1994). Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.

E. G. A. Browne (1928-30). Aliterary History of Persia. Vol. II. Cambridge: Cambridge
University Press.

Javad Nurbakhs (1984). Sufi Symbolism. Vol. 1. London:  Khaniqah-I Nikmatullah
Publications.

Johann Doorenbos (1933). De Geschriften vam Hamzah Pansoeri. Leiden: NV VH
Batteljes & Terpstra.

Kuntowijoyo (1976). Khotbah Di Atas Bukit. Jakarta: Pustaka Jaya.

Th.  G. Pigeaud (1967-80). Literature of Java, Catalogue Raisonne of Javanese
Manuscripts in the Library of the University of Leiden and Other Public Collections in the Netherlands. 4 vols. The Hague: Martinus Nijhoff.

R. Mas Ngabehi Purbatjaraka (19931). “De geheime leer van Soenan Bonang (Soeloek
Woedjil)”. Jawa 18:  145-81.

Md. Salleh Yaapar (1993). Mysticism and Poetry: A Hermeneutical Readings of the Poems
of Amir Hamzah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Sanusi Pane (1932). Madah Kelana. Jakarta: Balai Pustaka.

Sutardji Calzoum Bachri (1979). O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.

V. I. Braginsky (1993), Tasawuf dan Sastera Melayu: Kajian dan Teks-teks. Jakarta:
Rijkuniversiteit Leiden.

-----------------   (1998). Yang Indah, Berfaedah dan Kamal.: Sejarah Sastra Melayu Dalam
Abad 7-19. Jakarta: INIS.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS